Ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa dipaksa jalannya. Seperti cinta, seperti musim dan seperti puisi. Saya percaya, setiap puisi punya nasibnya sendiri. Ia akan sampai pada pembaca dan penikmatnya dengan berbagai macam cara.
Kadang, sebuah puisi ditemukan lewat lembaran koran yang tak sengaja dibaca di ruang tunggu. Di lain waktu, ia sampai melalui suara teman yang membacakan, tanpa tahu siapa penulisnya. Ada pula yang tersapa lewat scroll di media sosial, atau bahkan tampil di panggung yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Menanam Impian Karya yang Menggema
Sebuah impian besar pernah saya tanam dalam hati: “ingin punya karya yang menggema”. Bukan semata karena ingin dikenal, tapi semua itu sebenarnya untuk menyentuh batin yang tak sempat saya sapa secara langsung. Saya ingin karya saya menjadi jembatan emosi.
Saya teringat, pertama kali membacakan puisi di panggung-panggung kecil. Panggung lokal yang penuh semangat dan harapan. Dari sanalah saya belajar untuk mengucapkan isi hati saya di hadapan dunia dengan keyakinan penuh. Perlahan, panggung itu mulai berganti rupa. Dari panggung-panggung lokal, saya melangkah ke panggung-panggung nasional.
Saya terus menulis, terus membaca, dan terus menanam harapan. Impian saya tidak pernah padam. Bahkan saat tak ada yang mendengar sekalipun saya tetap percaya, suatu hari karya saya akan mendunia.
Ketika Puisi Menemukan Takdirnya di Kancah Internasional
Selasa yang Indah, tepatnya tanggal 29 Juli 2025. Langit terasa lebih biru dari biasanya. Saya mendapat kabar yang mendebarkan: puisi saya yang berjudul “INDONESIA: Obor yang Tak Pernah Padam” dibacakan dalam pembukaan British Council Summer Camp di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tanggal 28 Juli 2025. Puisi itu disampaikan oleh salah satu mahasiswa delegasi Indonesia.
Saya membaca ulang pesan itu berkali-kali. Bukan karena tidak percaya, tapi karena hati saya sedang bergetar bahagia. Momen itu terasa seperti pintu gerbang impian yang terbuka satu per satu. Seolah saya sedang menapaki jejak yang dulu hanya saya tulis diam-diam dalam jurnal penuh doa pada malam-malam menjelang tidur.
Ini bukanlah akhir, dan ini juga bukan puncak dari segalanya. Tapi ini adalah bukti nyata bahwa mimpi itu benar-benar ada. Kabar hari ini membuat tekad saya semakin bulat. Saya akan terus menulis. Karena saya yakin, puisi selalu tahu jalan pulangnya.
Bagi siapa pun yang juga pernah menanam impian di tanah gersang, dan bertanya dalam hati: “Masih adakah harapan itu?”
Izinkan kali ini saya berbagi satu keyakinan sederhana: “Tak ada karya yang sia-sia jika ditulis dengan hati. Tak ada doa yang kosong jika dilangitkan dengan jujur.”
Karena pada akhirnya, setiap kata akan menemukan takdirnya. Dan setiap jiwa yang menulis dengan cinta, akan dihantarkan oleh Tuah dan semesta ke tempat yang paling layak, “Pada hati yang sedang membutuhkan nyala”.
Puisi selalu tahu jalan pulangnya.
Bionarasi :
Iis Singgih, yang akrab disapa Budhe Iis, adalah seorang penulis produktif kelahiran dan besar di Malang. Karya-karyanya meliputi buku DOA BURUNG-BURUNG URBAN, DEMENSIA, MATA ANGIN, dan GIFT. Ia aktif mengirimkan tulisannya ke berbagai media, baik daring maupun luring. Sebagai salah satu penggagas berdirinya komunitas GENITRI, Budhe Iis juga aktif terlibat dalam beragam kegiatan sosial. Alumni kelas puisi RUANG KATA ini dapat dihubungi melalui email di iissinggih@gmail.com atau WhatsApp di +62 838-6679-9594.