Di balik kepergian orang tua atau anggota keluarga tercinta, tersisa satu amanah besar yang tak boleh dianggap sepele yaitu pembagian harta waris. Banyak orang mungkin berpikir bahwa urusan harta bisa menunggu, atau bahkan didiamkan karena dianggap sensitif. Tapi tahukah kita bahwa membiarkan urusan waris tanpa kepastian justru bisa menjadi api dalam sekam bagi hubungan kekeluargaan yang semula rukun ? Harta waris yang tidak dikelola dan dibagikan dengan benar menjadi sumber konflik, pemutus silaturahmi, bahkan membawa dosa besar bagi yang dzalim.
Dalam pandangan Islam dan hukum negara, harta waris adalah hak yang harus ditunaikan, bukan sesuatu yang bisa ditunda apalagi dimanipulasi. Pembagian harta waris bukan hanya soal kepemilikan, melainkan bagian dari tanggung jawab keadilan, penghormatan terhadap almarhum/almarhumah, dan bentuk perlindungan terhadap hak para ahli waris yang sah.
Mengapa Harta Waris Harus Dikelola Sesuai Syariat dan Hukum Negara?
Secara syariat Islam, pembagian harta waris adalah kewajiban agama, bukan pilihan. Kelalaian dalam menunaikan kewajiban ini tak hanya menzalimi sesama, tetapi bisa membawa konsekuensi berat di akhirat. “ Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian-bagian warisan kepada yang berhak. Maka, tidak boleh bagi seorang pun untuk mengubahnya. Siapa yang melanggar, maka ia masuk neraka. ” (HR. Abu Dawud)
Dalam Islam, pengurusan warisan merupakan perintah langsung dari Allah SWT yang bersifat fardhu (wajib). Allah berfirman dalam QS. An-Nisa:11 : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”
Juga dalam QS. An-Nisa:13-14, Allah mengingatkan bahwa :
“Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga… Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melampaui batas-batas-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka…”
Rasulullah SAW pun juga bersabda bahwa “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) dan “ Berikanlah warisan kepada yang berhak sesuai bagian yang telah ditetapkan. Adapun sisanya, maka untuk laki-laki yang paling dekat hubungan nasabnya. ” (HR. Tirmidzi)
Dengan kata lain, pembagian waris adalah bagian dari aturan Ilahi yang tidak boleh dilanggar. Menunda, menyembunyikan, atau menguasai hak ahli waris tanpa keadilan bisa berdampak pada dosa besar, bahkan menyulitkan almarhum/almarhumah di alam kubur karena amanah yang belum ditunaikan oleh para ahli warisnya. Pelanggaran terhadap ketentuan waris disebut sebagai dzalim, dan ancamannya sangat serius adalah siksa neraka dan tidak mencium bau surga.
Dari sisi hukum negara, aturan pembagian waris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171–214, KUH Perdata (untuk non-Muslim), UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Putusan Mahkamah Agung dan yurisprudensi waris lainnya. Di Indonesia mengenal tiga sistem waris yaitu Hukum Waris Islam (Kompilasi Hukum Islam – KHI) yang berlaku bagi Muslim, diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991, pembagian sesuai syariat (2:1, dst); Hukum Waris Adat yang berlaku sesuai suku/budaya tertentu (misal: garis ibu di Minangkabau) dan Hukum Waris Perdata (BW/KUHPerdata) yang berlaku bagi non-Muslim. Bagi umat Islam, KHI adalah acuan hukum waris resmi, dan perdata hanya berlaku jika tidak ada keberatan dari pihak lain. Penetapan ahli waris bisa dilakukan melalui pengadilan agama.
Data dari Mahkamah Agung menyebutkan, perkara sengketa waris selalu berada di peringkat 5 besar tertinggi dalam perkara perdata agama. Beberapa contoh nyata yaitu kasus tanah waris di Bekasi (2023) dimana alah satu ahli waris memalsukan tanda tangan untuk menjual tanah, akibatnya, kasus bergulir di pengadilan, dan hubungan keluarga hancur, kasus viral “ibu diusir anak” (2022) karena tidak adanya kejelasan pembagian waris, anak yang menguasai rumah warisan merasa berhak penuh dan mengusir ibu kandung sendiri, kasus artis Indonesia salah satunya adalah kasus almarhum penyanyi legendaris yang anak-anaknya saling gugat karena properti tidak diwariskan dengan adil.
Dampak umum yang terjadi akibat sengketa waris diantaranya hubungan antar saudara rusak, tidak saling menyapa hingga puluhan tahun, orang tua “diseret” nama baiknya karena perjanjian sepihak yang dibuat tanpa sepengetahuan ahli waris lain, keadilan kabur, padahal kematian seharusnya jadi momen instrospeksi bukan perebutan. Tidak hanya putusnya silaturahmi, tetapi juga perkara hukum di pengadilan, trauma keluarga, dan bahkan perpecahan lintas generasi. Anak-anak dari ahli waris yang dirugikan pun ikut tumbuh dalam suasana dendam dan kecewa.
Apa yang harus dilakukan saat waris terjadi ? Jangan menunda ! Menunda penyelesaian waris dengan alasan “nanti saja” adalah kesalahan besar. Penundaan membuka celah terjadinya manipulasi, timbulnya keserakahan oleh pihak yang menguasai harta lebih dulu, hilangnya dokumen penting. Selanjutnya lakukan tahapan sesuai syariah dan hukum, tahap-tahap pengurusan waris meliputi penyelesaikan utang-piutang almarhum/almarhumah, melunasi wasiat (jika ada), maksimal 1/3 harta, mengidentifikasi semua ahli waris sah, menentukan total nilai harta warisan, membagi warisan sesuai ketentuan syariah dan kesepakatan adil, membuat surat pernyataan waris yang ditandatangani bersama.
Bila terjadi kebuntuan, bisa dilakukan mediasi di lingkungan RT/RW, keluarga besar, atau melalui Pengadilan Agama.
Lalu bagaimana menyikapi dan menyelesaikan apabila terjadi sengketa waris?
Sebelum semuanya terlambat, berikut ini beberapa langkah yang bisa dilakukan agar harta waris menjadi berkah, bukan musibah yaitu segera menginventarisasi harta peninggalan sejak wafatnya pewaris, mengadakan musyawarah keluarga yang adil dan terbuka, mengundang semua ahli waris sah, melibatkan mediator atau tokoh yang netral, seperti tokoh agama, penasihat hukum keluarga, atau lembaga mediasi, membuat akta atau penetapan waris secara hukum, bisa melalui Pengadilan Agama atau Kantor KUA untuk muslim dan membagi harta sesuai bagian masing-masing ahli waris, bukan berdasarkan perasaan, jasa, atau tekanan keluarga.
Banyak kasus sengketa karena waris belum dibagi selama bertahun-tahun ? Maka para ahli waris tetap berhak menuntut bagian mereka kapan saja, dan bila tidak ada penyelesaian internal, bisa menempuh jalur hukum. Bagaimana jika ada yang menguasai sepihak ? Menurut Syariat Islam, orang yang menahan hak waris orang lain adalah pelaku kedzaliman, sebagaimana tertera dalam HR Bukhari dan Muslim “Barang siapa yang memakan harta orang lain secara zalim, maka dia akan disiksa di neraka…” dan “Barang siapa yang memotong hak seorang Muslim tanpa hak, maka Allah akan menjadikannya sebagai bagian dari api neraka.”
Sedangkan menurut hukum negara, bila terjadi sengketa waris bisa diajukan gugatan waris. Mereka yang mengambil lebih dari haknya atau menghalangi orang lain dari hak warisnya bisa dijerat dengan pasal-pasal perdata dan pidana seperti penggelapan, pemalsuan dokumen, dan perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu, untuk mencegah sengketa waris berkepanjangan dengan dampak yang lebih besar dan Panjang, maka Jangan didiamkan ! Diam terhadap kedzaliman bukanlah bentuk kesabaran. Mengklaim “ biar Allah yang balas ” tanpa usaha menegakkan hak adalah bentuk pembiaran atas dosa. Anda berhak dan wajib menuntut hak dengan adil, tanpa harus bermusuhan.
Warisan bukan hanya urusan dunia. Ia adalah ujian akhir bagi keluarga yang ditinggalkan. Bila amanah ini dijaga, insyaAllah menjadi ladang pahala. Tapi bila dikhianati, menjadi bencana hubungan dan hisab berat di akhirat. Jangan karena satu lembar sertifikat, rusaklah hubungan darah. Jangan karena sepetak tanah, hilang ridho Allah. “Sesungguhnya di antara seburuk-buruknya manusia adalah yang memutus silaturahmi.” (HR. Bukhari)
Mulai sekarang, jangan menunggu, mari kita sadari bahwa harta yang ditinggalkan orang tua bukan hanya benda, tapi amanah yang harus ditunaikan secara adil. Menjaga hak saudara kita dalam warisan adalah bagian dari takwa dan tanggung jawab moral serta spiritual. Jika kita adalah bagian dari keluarga yang sedang menghadapi perkara waris, jangan takut untuk menyuarakan keadilan. Tidak harus keras, tapi bisa dimulai dari langkah yang benar dan didampingi pihak yang tepat. Bila Anda berada dalam keluarga yang belum menyelesaikan waris, ajak untuk duduk bersama. Bila Anda butuh bantuan, hubungi : Kantor Urusan Agama/Pengadilan Agama terdekat, Lembaga konsultasi hukum syariah dan Mediator keluarga profesional
Dan yang paling penting kuatkan niat untuk berlaku adil, walau itu artinya Anda harus melepaskan sesuatu.