Senin, Oktober 13, 2025
Senin, Oktober 13, 2025
BerandaLifestyleHidup Sehat BahagiaMental Health is a Universal Human Right

Mental Health is a Universal Human Right

“10 Oktober bukan sekadar tanggal di kalender — tapi panggilan untuk memahami sesama.”

🌿 Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025: Dari Kesadaran Menuju Kepedulian Nyata

Tanggal 10 Oktober setiap tahunnya selalu diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day).
Bagi sebagian orang, tanggal ini hanya sebatas pengingat di kalender, sekadar lalu-lalang di lini masa media sosial, disertai kutipan bijak tentang “self-love” dan “healing”.
Namun, bagi sebagian lainnya, tanggal ini adalah momentum yang penuh makna — saat mereka mengingat perjuangan panjang menghadapi depresi, kecemasan, atau luka batin yang tak kasat mata.

Tahun 2025 ini, tema yang diangkat oleh World Health Organization (WHO) adalah:

“Mental Health is a Universal Human Right”
Pesan yang sederhana, namun menggugah: Kesehatan mental bukanlah kemewahan, melainkan hak setiap manusia.

🧩 Luka yang Tak Terlihat

Tidak semua luka tampak di permukaan.
Ada orang yang tetap tersenyum di depan umum, padahal dalam diam, ia berjuang keras menahan air mata.
Ada yang terlihat “kuat”, padahal setiap malam ia bertarung melawan pikiran negatif yang tak kunjung reda.

Kesehatan mental sering kali menjadi “tabu” di banyak masyarakat.
Kita terbiasa menormalkan kalimat seperti “ah, kamu kurang bersyukur”, atau “semua orang juga punya masalah, kok”.
Padahal, kalimat sederhana itu bisa membuat seseorang semakin terpuruk dan merasa tidak berharga.

📈 Fakta yang Meninggalkan Jejak

Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2024, lebih dari 15 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, dan sekitar 2 juta orang di antaranya menderita depresi berat.
Ironisnya, banyak dari mereka yang tidak mendapatkan penanganan karena stigma sosial, biaya layanan yang tinggi, atau minimnya tenaga profesional di daerah.

Di sisi lain, fenomena burnout di kalangan generasi muda juga meningkat.
Survei dari YouGov tahun 2025 menunjukkan bahwa 7 dari 10 pekerja muda di Asia mengalami kelelahan mental akibat tekanan karier, ekspektasi finansial, dan overexposure terhadap media sosial.

“Anak muda sekarang manja,” kata sebagian orang.
Padahal, generasi muda hari ini hidup di tengah tekanan sosial yang jauh lebih kompleks — tuntutan produktif setiap saat, perbandingan tanpa henti, dan ilusi kebahagiaan yang diciptakan algoritma.

💬 Isu yang Kembali Viral — Tapi Apakah Kita Benar-Benar Paham?

Setiap kali isu kesehatan mental viral, jagat maya dipenuhi konten bertema healing trip, self-care, dan mental detox.
Namun sayangnya, tak jarang maknanya menyempit:
healing diartikan sebatas liburan ke pantai, self-love dimaknai sebagai memanjakan diri, bukan mengasihi diri.

Padahal, hakikat self-love adalah menerima diri apa adanya, termasuk sisi gelap dan kegagalan yang kita miliki.
Sementara healing sejati bukan tentang pergi menjauh dari masalah, melainkan belajar berdamai dengan masa lalu dan membangun kekuatan baru untuk melangkah.

🧠 Kesehatan Mental Adalah Pondasi Kehidupan

Kesehatan mental bukan hanya tentang tidak stres.
Ia adalah keseimbangan antara pikiran, perasaan, dan perilaku — kemampuan untuk menghadapi tekanan hidup, menjaga hubungan sosial, dan tetap produktif dalam menjalani hari.

Seseorang yang sehat mental bukan berarti tak pernah lemah.
Mereka hanya tahu kapan harus berhenti, kapan harus meminta tolong, dan kapan harus memaafkan diri sendiri.

Sayangnya, budaya “kuat” yang ditanamkan sejak kecil sering membuat banyak orang takut terlihat lemah.
Kita belajar menahan tangis, menutupi luka, dan berpura-pura baik-baik saja — hingga akhirnya terbiasa memendam segalanya sendirian.

💚 Dari Simpati Menuju Empati

Hari Kesehatan Mental Sedunia tidak akan membawa perubahan apa pun jika hanya berhenti pada kesadaran.
Yang kita butuhkan adalah gerakan kepedulian.

  • Dengarkan tanpa menghakimi.

  • Tanyakan kabar seseorang dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar basa-basi.

  • Dukung teman atau keluarga yang sedang berjuang, meski kita tak sepenuhnya mengerti.

  • Dan yang paling penting — jangan pernah meremehkan rasa sakit yang tidak kita alami sendiri.

Kepedulian kecil bisa menyelamatkan nyawa seseorang.
Satu pesan, satu pelukan, atau satu kalimat “kamu tidak sendiri” bisa jadi titik balik bagi orang yang hampir menyerah.

🕊️ Membangun Ruang Aman di Sekitar Kita

Di tengah dunia yang semakin cepat dan menuntut, kita membutuhkan lebih banyak ruang aman — baik di rumah, sekolah, kampus, maupun tempat kerja.

Perusahaan mulai menyadari pentingnya Employee Wellbeing Program, menyediakan layanan konseling, cuti mental health, dan pelatihan mindfulness.
Sekolah dan kampus juga mulai membuka layanan bimbingan konseling yang lebih terbuka dan ramah terhadap isu emosional siswa.

Namun, ruang aman sejati bukan hanya soal kebijakan.
Ruang aman terbentuk dari sikap kita — ketika kita berhenti menghakimi, dan mulai memahami.

🌻 Penutup: Jangan Biarkan 10 Oktober Hanya Jadi Tanggal di Kalender

Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia seharusnya bukan hanya seremonial, bukan pula momentum sekali setahun.
Ia adalah ajakan untuk bergerak bersama — membangun budaya peduli, membuka percakapan yang jujur, dan memperjuangkan akses layanan kesehatan mental yang adil untuk semua.

Kesehatan mental adalah hak asasi.
Dan seperti halnya hak hidup, ia layak diperjuangkan — setiap hari.

Jika kamu membaca ini dan sedang berjuang, ketahuilah:

Kamu tidak sendiri. Kamu berharga. Dan kamu layak untuk sembuh.

ditulis oleh Drh Sarastina MP

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments