Selasa, Juli 1, 2025
Selasa, Juli 1, 2025
BerandaBusinessPulang Bukan Kalah: Kisah Mereka yang Kembali dan Membangun Negeri

Pulang Bukan Kalah: Kisah Mereka yang Kembali dan Membangun Negeri

Kisah nyata para pemuda Indonesia yang memilih pulang dari luar negeri dan membangun negeri dengan kreativitas, harapan, dan keberanian.

Oleh: Drh Sarastina, MP

“Dulu saya pikir, dunia kerja ideal hanya ada di luar negeri. Tapi ternyata, tanah sendiri justru menyimpan ruang perjuangan yang paling jujur.”
— M. Iqbal Agung Pradana

Di tengah derasnya arus globalisasi dan impian akan kehidupan yang “lebih pasti” di negeri orang, muncul sebuah tagar yang mencuri perhatian warganet: #KaburAjaDulu. Tagar ini jadi suara hati banyak anak muda Indonesia yang merasa bahwa peluang, keadilan, dan kesejahteraan lebih mudah ditemukan di luar negeri.

Namun, di balik keramaian narasi “pergi”, masih ada cerita yang jarang disorot: kisah mereka yang memilih kembali, dan membangun.

Kenapa Banyak yang Ingin “Kabur”? Inilah Tantangan yang Tak Terucap

Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren media sosial atau pelarian emosional. Ia lahir dari realitas yang dihadapi banyak generasi muda saat berjuang di dalam negeri — mulai dari mencari kerja, membangun karier, hingga membentuk kehidupan yang layak.

Berikut sejumlah tantangan yang memicu keinginan untuk “kabur”:

  1. Kesempatan kerja yang minim dan tidak meritokratis
    Banyak lulusan unggulan merasa tidak mendapat ruang tumbuh yang adil. Rekrutmen sering bergantung pada relasi, bukan prestasi atau kompetensi.

  2. Gaji tidak seimbang dengan biaya hidup
    Banyak anak muda merasa upah yang mereka terima tidak mencukupi untuk hidup layak, apalagi menabung atau membangun masa depan.

  3. Minimnya ruang kreatif dan inovatif
    Birokrasi yang lambat, budaya kerja konservatif, dan senioritas kerap menghambat ide-ide baru yang ingin membawa perubahan.

  4. Kecemasan terhadap masa depan
    Kurangnya jaminan sosial, akses perumahan, serta pelayanan publik yang belum merata membuat banyak anak muda merasa masa depan di negeri sendiri masih kabur.

  5. Kurangnya pengakuan atas talenta lokal
    Banyak anak muda merasa lebih dihargai oleh lembaga asing daripada institusi dalam negeri. Ini melahirkan frustrasi dan dorongan mencari pengakuan di luar negeri.

Iqbal dan Jalan Pulang

Di tengah semua keresahan itu, ada cerita tentang M. Iqbal Agung Pradana — lulusan jurusan Komunikasi Perfilman dari University College Sedaya International (UCSI), Malaysia. Dengan latar pendidikan internasional dan keahlian di bidang kreatif, ia punya banyak alasan untuk tetap berkarier di luar negeri.

Namun Iqbal justru memilih pulang ke Indonesia, dan berjuang dari nol di tanah kelahirannya.

“Ilmu itu tidak untuk disimpan, apalagi dibawa pergi. Saya ingin menjadikannya alat untuk membangun ruang cerita lokal yang kuat,” ungkapnya.

Setibanya di tanah air, ia mencoba bergabung dengan komunitas film lokal, menjalin kerjasama literasi media di sekolah-sekolah, serta mengangkat narasi masyarakat desa lewat karya film dokumenter. Di layar kecil ruang komunitas, Iqbal menyampaikan pesan besar: kreativitas bisa menjadi alat perubahan — bahkan di tempat yang sering dianggap tak ada harapan.

Mereka yang Tetap, Mereka yang Berjuang

Iqbal bukan satu-satunya. Di berbagai pelosok negeri, muncul banyak anak muda yang memutuskan untuk tidak sekadar “bertahan”, tapi membangun sistem baru. Mereka kembali bukan karena gagal — tapi karena sadar, negeri ini masih membutuhkan mereka.

Ada alumni Australia yang membangun program pertanian regeneratif di kampung halamannya. Ada mantan tenaga IT dari Singapura yang kini mengembangkan platform pendidikan berbasis AI di desa. Ada diaspora yang pulang saat pandemi dan memilih tinggal karena merasa kontribusinya lebih dibutuhkan di sini.

Mereka memang tak viral. Tapi mereka berdampak.

Ini bukti bahwa ruang kontribusi dan kolaborasi tetap terbuka lebar bagi generasi muda yang ingin kembali dan membangun negeri sendiri.

Pulang Bukan Kalah, Tinggal Bukan Salah

Kita tak sedang menghakimi pilihan. Pergi ke luar negeri bukan kesalahan — itu bagian dari proses belajar dan memperluas wawasan. Namun, kisah mereka yang pulang dan membangun adalah cerita yang perlu lebih banyak didengar.

Karena membangun negeri tidak selalu harus dengan megafon. Kadang, cukup dengan kamera, kelas kecil, atau sekelompok anak muda yang yakin bahwa perubahan dimulai dari tanah tempat mereka dilahirkan.

“Saya percaya, Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Yang dibutuhkan adalah lebih banyak orang yang percaya bahwa negeri ini layak diperjuangkan,”
tutup Iqbal, dengan sorot mata penuh harapan.

Epilog

Di tengah narasi besar tentang “lari dan mencari”, kisah-kisah seperti ini menjadi penyeimbang yang sehat. Bahwa membangun negeri adalah pilihan yang layak — dan sangat mungkin.

Dan bahwa dalam era serba cepat ini, mungkin yang paling berani bukan mereka yang pergi, tapi mereka yang memilih tinggal dan menyalakan terang di sekitarnya.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments